Skip to main content
EdukasiArtikel

Rekonstruksi Hukum Positif Anak sebagai Penyalahguna Narkoba

Dibaca: 12 Oleh 27 Jun 2022Tidak ada komentar
Rekonstruksi Hukum Positif Anak sebagai Penyalahguna Narkoba
#BNN #StopNarkoba #CegahNarkoba

Ratih Frayunita Sari, S.I.Kom.,M.A

Masalah penyalahgunaan narkoba mempunyai dimensi yang luas dan kompleks, baik dari sudut medik, psikiatri, kesehatan jiwa, maupun psikososial. Pengguna narkoba dapat merusak tatanan kehidupan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolahnya, bahkan langsung atau tidak langsung merupakan ancaman bagi kelangsungan pembangunan serta masa depan bangsa dan negara.

Adanya bahaya narkoba di Indonesia sangat tidak sejalan dengan tujuan pembangunan Negara Republik Indonesia yakni untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur sejahtera sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia yakni Pancasila. Apalagi kalau pengguna atau pengedar narkoba dilakukan oleh seorang anak.  Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia.

Dalam Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dijelaskan bahwa anak adalah “seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dalam usia katagori anak sebagaimana diatur oleh UU Nomor 35 tahun 2014 ada sebutan lain yang dapat dipakai adalah remaja. Seusia tersebut anak/remaja lebih cenderung untuk berada di luar rumah, bermain dengan seusia mereka baik di lingkungan rumah, sekolah maupun kelompok.

Penjatuhan pidana dan pembinaan terpidana itu diarahkan kepada misi memperbaiki kelakuan manusia serta mencegah dan mengurangi jumlah kejahatan yang ada, sehingga kepentingan perseorangan, masyarakat, dan negara terlindungi. Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum) pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri.

Dengan adanya pengaruh teknologi yang tidak terkontrol serta pengaruh dari teman-temannya anak dapat berperilaku tidak baik dan tidak menutup kemungkinan anak terjebak dalam kelakukan asosial bahkan antisosial yang merugikan dirinya, keluarga, dan masyarakat bahkan melanggar hukum seperti terjerat narkoba.  Selanjutnya terhadap sanksi hukuman terhadap anak yang terjerat dalam permasalahan Narkoba, Pasal 55 UU Nomor 35 Tahun 2009 di jelaskan orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Sementara dalam UU yang sama dikatakan menuntut tanggung jawab orang tua dan /atau wali jika yang terlibat dalam narkoba belum dewasa.

Berpijak dari penjelasan yang ada, maka hubungan pelaku dan korban kejahatan narkoba/narkotika pada anak harus dipahami secara cermat guna menentukan langkah-langkah tepat dalam menjatuhkan sanksi pada anak tersebut. Seorang anak pecandu narkoba/narkotika, dapat menjalani pengobatan ataupun perawatan melalui fasilitas rehabilitasi setelah ada ketetapan atau keputusan dari Hakim.

Permasalahan tindak pidana narkona/narkotika pada anak-anak merupakan permasalahan yang berhubungan dengan misi perbaikan perlakuan manusia, serta sangat besar pengaruhnya dalam mencegah dan mengurangi kejahatan terutama pada tindak pidana  narkoba/narkotika, sehingga masalah ini tidak saja bermaksud melindungi kepentingan perseorangan tetapi juga melindungi kepentingan kepentingan masyarakat dan negara.

Dalam Pasal 16 ayat (3) Undang-undang Perlindungan Anak menentukan bahwa penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Hal ini dikenal dengan pendekatan dengan model penghukuman yang bersifat restorative justice yang saat ini lebih layak diterapkan dalam menangani pelanggar hukum usia anak. Restorative justice berlandaskan pada prinsip-prinsip yang sangat menghormati hak-hak hukum tersangka, seperti hak untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah hingga vonis pengadilan menetapkan demikian, hak untuk membela diri, dan mendapatkan hukuman yang proposional dengan kejahatan yang dilakukannya.

Untuk dapat menentukkan kategori penggunaan narkoba pada anak baik yang bersifat ketergantungan primer, simtomatis (sebagai mereka yang berkepribadian anti sosial), dan ketergantungan reaktif karena remaja memiliki dorongan ingin tahu, pengaruh lingkungan dan tekanan kelompok sebaya (peer group).

Terhadap kelompok ketergantungan simtomatis (kepribadian psikopat/antisosial), misalnya perlu sanksi hukum di samping terapi dan rehabilitasi. Sementara, terhadap kelompok ketergantungan primer perlu terapi dan rehabilitasi dan untuk ini hendaknya ada ketentuan hukum yang menghancurkannya. Sedangkan terhadap kelompok ketergantungan reaktif diperlukan terapi dan rehabilitasi serta tindakan terhadap teman kelompok sebayanya (peer group) yang biasanya kepribadian antisosial/psikopat). Dan untuk ini hendaknya ada ketentuan hukum yang mengharuskannya.

Bila keduanya dapat berjalan secara sinkron, konsisten, dan berkesinambungan, maka maraknya penyalahgunaan NAZA atau ectasy akan dapat diatasi. Sudah tentu harus disertai dengan perangkat hukum (UU) yang memadai. Penjatuhan pidana sebagai upaya pembinaan dan perlindungan anak merupakan faktor penting. Salah satu upaya pemerintah bersama DPR adalah . Terbitnya Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-undang itu diundangkan tanggal 3 Januari 1997 (Lembaran Negara 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668), dan mulai diberlakukan satu tahun kemudian yaitu tanggal 3 Januari 1998. Dalam hal itu terdapat perbedaan jenis pidana dan tindakan yang dapat dijatuhkan kepada orang dewasa dan anak nakal. Demikian pula proses peradilannya yang bagi anak nakal menjadi wewenang Pengadilan Anak. Sejak adanya sangkaan atau diadakan penyidikan sampai diputuskan pidananya dan menjalani putusan tersebut, anak harus didampingi oleh petugas sosial.

Di dalam Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014, menjelaskan tentang perlindungan khusus bagi anak yang menyalahgunakan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Pemerintah dan lembaga Negara lainnya pun berkewajiban dan bertanggung jawab dalam perlindungan khusus tersebut, dan bagi anak yang menyalahgunakan narkotika, alcohol, psikotropika dan zat adiktif dilakukan upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 15, Pasal 59 ayat 2 huruf e, dan Pasal 67.

Dalam Undang-undang Narkotika No.35 Tahun 2009 yang terdapat dalam Pasal 46 dan Pasal 87 disebutkan bahwa mewajibkan orang tua/wali melapor apabila anaknya menjadi pecandu narkotika untuk mendapat pengobatan dan/atau perawatan dan akan dikenakan pidana bila tidak melaporkannya. Apabila seorang pecandu narkotika telah divonis bersalah oleh hakim atas tindak pidana narkotika yang dilakukannya untuk memberikan kesempatan pada yang bersangkutan agar terbebas dari kecanduannya, hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan.

Daftar Pustaka :

Carl Joachim Friedrich, 2010. “The Philosophy of Law in Historical Perspective” Diterjemahkan Filsafat Hukum Perspektif Historis, ed. Nurainun Mangunsong, Bandung. cet. Ke-3 Nusa Media

L.M Gandhi, 2011. Harmonisasi Hukum Menujuhukum Responsif, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesi.

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jakarta

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel