
oleh Mohammad Geralldine Nurhadi Staf P2M BNNP Kepri
Instrument hukum permasalahan narkotika hingga saat ini masih mengacu pada Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. UU tersebut menjelaskan secara komprehensif terkait konteks pemberantasan dan penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Terdapat perjalanan yang panjang hingga terbentuknya UU ini, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1961 menjadi acuan terbentuknya instrument hukum ini. Hal tersebut melalui proses ratifikasi produk hukum PBB oleh negara anggota PBB termasuk Indonesia. Proses ratifikasi tersebut melahirkan produk hukum narkotika pertama Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang No 9 Tahun 1976. UU No 9 Tahun 2009 mengalami beberapa perubahan yang mengacu pada konvensi PBB pada masanya.
Hukum tersebut berfokus pada pemidanaan terhadap pengguna narkotika yang menemui banyak permasalahan dan ketidakefektifan pelaksanaan proses hukum kasus narkotika. Jika dikalkulasikan total terdapat tiga kali perubahan UU Narkotika hingga menjadi UU yang sekarang, yaitu Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
hingga saat ini. Pada UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika terdapat penetapan mengenai Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai lembaga negara yang menangani permasalahan narkotika terutama terkait pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
Fokus Revisi UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Pada realitanya kejahatan narkotika meninggalkan segudang masalah lain yang semakin mempersulit penanganan kasus tersebut, salah satunya terkait over kapasitas pada lembaga pemasayarakatan yang menjadi isu hangat terkait proses penegakan hukum di Indonesia. Kondisi tersebut salah satunya menuntut upaya-upaya non punitif yang dapat diaplikasikan dalam menangani kasus narkotika, melalui upaya rehabilitasi. Pada dasarnya, UU No 35 Tahun 2009 telah mengatur mengenai upaya rehabilitasi bagi pengguna dan pecandu narkotika. Namun, hal tersebut tidak serta merta teraplikasi di dalam penanganan kasus. Masih terdapatnya perbedaan penafsiran dalam membaca hukum menjadi penyebab hal tersebut terjadi. Oleh karena itu, kondisi tersebut menghasilkan poin revisi UU Narkotika, yaitu kejelasan hukum.
Kejelasan hukum dapat dicapai dengan terdapatnya konsep yang jelas mengenai isu narkotika. Salah satunya konsep terkait pecandu, penyalahguna, korban penyalahgunaan, pengedar, dan bandar narkotika yang belum jelas dan rentan menciptakan ketidakadilan dalam proses hukum. Di samping itu terdapat beberapa poin lain yang menjadi focus revisi UU Narkotika yang menjadi diusulkan, seperti terkait Zat Psikoaktif Baru (New Psychoactive Substance/NPS); kedua, penyempurnaan ketentuan rehabilitasi; ketiga, Tim Asesmen Terpadu (TAT); keempat, kewenangan Penyidik BNN; kelima, pengujian laboraturium; dan terakhir, penyempurnaan ketentuan pidana. Hingga saat ini proses revisi UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika masih berlangsung demi menciptakan efektivitas pelaksanaan proses hukum kasus narkotika di Indonesia.
Referensi
BiroHumasHukumKerjasama. (2022, Mei 23). Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia . Retrieved from Revisi RUU Narkotika, DPR Bahas Enam Poin Usulan Pemerintah: https://www.kemenkumham.go.id/berita/revisi-ruu- narkotika-dpr-bahas-enam-poin-usulan-pemerintah