Skip to main content
EdukasiArtikel

Tantangan Indonesia Menuju Drug Free ASEAN 2025

Dibaca: 300 Oleh 17 Okt 2021November 1st, 2021Tidak ada komentar
Tantangan Indonesia Menuju Drug Free ASEAN 2025
#BNN #StopNarkoba #CegahNarkoba

oleh : Ratih Frayunita Sari, S.I.Kom., M.A

Penyuluh Narkoba BNN Provinsi Kepulauan Riau

Ancaman penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan bahan adiktif lainnya (NARKOBA) sudah menjadi fenomena global dan ancaman kemanusiaan termasuk bagi Indonesia sebagai pangsa pasar maupun wilayah transit narkoba. Peningkatan penyalahgunaan narkoba juga dipicu oleh kondisi pandemi Covid-19 yang memberikan implikasi terhadap semakin maraknya orang-orang terjerumus narkoba karena jenuh maupun  terlibat bisnis narkoba karena kasus PHK. Selain itu sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga memperluas akses penyebaran dan transaksi narkoba melalui dunia cyber.

Di samping itu dengan meningkatnya jumlah NPS serta variasi jenis narkotika terutama yang sintetis memungkinkan penyalahguna memiliki pilihan alternatif sesuai dengan kebutuhan. Kondisi ini menunjukkan bahwa revolusi kimia memungkinkan turunan baru berbagai narkoba telah mendorong komersialisasi massal. Seiring dengan kecenderungan globalisasi, perdagangan narkoba melibatkan jaringan berskala besar dengan kekuatan organisasi, modal, kapasitas perdagangan yang bersifat transnasional (transnational organized crime) (UNODC, 2018).

Berbagai perkembangan tersebut menjadikan ancaman narkoba terhadap kemanusiaan menjadi lebih kompleks dan membutuhkan usaha yang terintegrasi dalam berbagai tingkatan termasuk kerja sama regional dan internasional. Indonesia bersama negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) lainnya telah meningkatkan komitmen untuk mempererat kerja sama dalam penanggulangan penyalahgunaan narkoba sebelumnya telah mencanangkan program ASEAN Bebas Narkoba 2015 kemudian melalui rencana kerja terbaru menyusun ASEAN Work Plan on Securing Communities Against Illicit Drugs 2016-2025. Sebagai negara dengan penduduk terbesar di ASEAN, disposisi Indonesia dalam arah kebijakan dan strategi penanggulangan narkoba akan sangat menentukan keberhasilan program Drug-Free ASEAN 2025.

Dalam peta perdagangan narkoba dunia, sebagaimana yang kita ketahui bahwa geografis Indonesia telah bertransformasi dari negara transit menjadi negara tujuan. Indonesia didukung oleh posisi di antara dua benua, Asia dan Australia serta dua Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia. Sifat sebagai negara kepulauan terbesar dengan kepemilikan garis pantai dan perbatasan terpanjang. Indonesia menjadi target dari Golden Triangle dan Golden Cressent. Jika mengamati situasi ini, pada dasarnya terdapat tiga hal dalam proses penanggulangan penyalahgunaan narkoba di Indonesia. Pertama, menyangkut ‘good will’ dan ketegasan presiden dalam pelaksanaan kebijakan. Kedua, kondisi kematangan lingkungan sosial, dan selanjutnya, basis regulasi dan perubahan arah kebijakan dari ‘kriminalisasi’ ke ‘dekriminalisasi.

Meskipun hukuman mati terhadap terpidana narkoba masih menjadi kontroversi, namun Presiden Jokowi tetap konsisten untuk menolak permohonan grasi sangat penting untuk menjadi shock therapy bagi para bandar, pengedar maupun pengguna. Sikap ini menjadi keharusan karena kompleksitas yang diakibatkan oleh narkoba. Tidak hanya menyerang dewasa dan kelompok ekonomi rendah, namun juga seseorang yang mapan secara ekonomi dan terdidik juga dapat menjadi korban. Regulasi pada UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah menjadi payung hukum yang memfasilitasi penanggulangan narkoba. Dengan adanya undang-undang ini maka pengaturan tentang narkotika mengacu pada 4 aspek dan bertujuan antara lain untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu untuk mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika, untuk memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, dan terakhir menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika.

Pada konteks masalah narkoba, kebijakan kriminalisasi melalui Undang-Undang tentang Narkotika tidak mengurangi apalagi menyelesaikan permasalah di lapangan. Data menunjukkan penyalahgunaan narkoba justru meningkat, menyebar dengan pola yang sulit dideteksi oleh otoritas seperti BNN atau kepolisian. Setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan punish- ment tidak signifikan terhadap penanggulangan penyalahgunaan narkoba jika dikaitkan dengan asas-asas kriminalisasi seperti legalitas, subsidiaritas, dan persamaan.

Pertama, praktik perundang-undangan tentang narkotika dalam konteks legalitas ternyata tidak dapat berperan melindungi posisi hukum rakyat terhadap penegak hukum (penguasa). Kedua, dalam konteks subsidiaritas terdapat semacam keyakinan di kalangan penegak hukum bahwa pemberlakukan ancaman berat/sangat berat dalam tindak pidana akan berpengaruh secara otomatis bagi perubahan perilaku dalam masyarakat karena diharapkan muncul efek jera dan tidak melakukan tindak pidana tersebut. Mengingat kebijakan kriminalisasi di atas tidak mampu menjawab tantangan peningkatan penyalahgunaan, maka kebijakan bergeser kepada upaya dekriminalisasi tanpa mengeliminasi kebijakan kriminalisasi.

Dekriminalisasi diartikan sebagai suatu proses suatu tindakan yang merupakan kejahatan karena dilarang dalam perundangan pidana kemudian dicabut dari perundangan sehingga tindakan tersebut tidak lagi menjadi tindakan kejahatan. Dekriminalisasi merupakan penggolongan suatu perbuatan yang pada mulanya dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian dianggap sebagai perilaku biasa.

Kembali lagi pada target ‘Bebas Narkoba 2025’ dalam konteks ‘Drug Free ASEAN 2025. Indonesia darurat narkoba menjadi gambaran kondisi empiris peta penyalahgunaan narkoba yang besar. Perubahan paradigma dalam legislasi khususnya UU No. 35/2009 membutuhkan perubahan ‘pola pikir’ (mindset) bagi para pelaksana, baik para penyidik, polisi, jaksa, dan hakim. Paradigma dekriminalisasi membutuhkan proses asessment yang melibatkan berbagai pihak.

Di tengah kondisi darurat tersebut dan cita-cita pencapaian Drug Free ASEAN 2025, Indonesia ditantang untuk menemukan metode penanggulangan penyalahgunaan narkoba yang efektif dan efisien. Masalah penyalahgunaan Narkoba yang sedemikian masif di Indonesia sudah sejalan dengan gerakan anti narkoba internasional di bawah insiatif UNDOC dan dianggap membawa manfaat besar. Berbagai manfaat tersebut antara lain mengurangi tuntutan pidana hukum murni dan kecenderungan over capacity dalam penjara kasus narkoba, memutus rantai perdagangan narkoba, memberikan pemulihan bagi pecandu dan mengatasi kerugian ekonomi dan sosial serta mendorong kemandirian masyarakat.

Dari sudut pandang konvensional, upaya pengendalian peredaran narkoba baik di tingkat internasional maupun regional, masih terfokus pada pengendalian persediaan. Para penyelundup narkoba adalah permasalahan utama dari perspektif tersebut, karena mereka secara langsung memfasilitasi ketersediaan narkoba dan mendistribusikannya pada calon pengguna. Untuk memberantas penyelundupan narkoba ilegal, dibutuhkan penegakan hukum yang efektif dan diiringi dengan hukuman yang berat bagi para penyelundup dan pengedar.  Negara-negara ASEAN pada dasarnya sudah memiliki rangkaian peraturan anti narkoba yang paling komprehensif di dunia. Di ASEAN, hanya Kamboja yang secara resmi tidak memberlakukan hukuman mati bagi pelaku kejahatan narkoba. Di Filipina, hukuman mati masih menjadi perdebatan.Namun demikian dalam praktiknya, hukuman mati juga tidak selalu diimplementasikan oleh negara-negara tersebut. Beberapa negara memberlakukan hukuman mati bagi pelaku kejahatan narkoba sebagai upaya pencegahan, bukan sebagai respons.

Daftar Pustaka :

Arrests for Drug Abuse Up 50%. 19 Februari 2014, dalam The Brunei Times. http://bt.com.bn/front page-news-national/2014/02/19/arrests-drug- abuse-50, diakses tanggal 18 Oktober 2021.

Devaney, Madonna et.al. 2006. Situational Analysis of Illicit Drug Issues and Responses in the Asia-Pacific Region. 2004-2005. Canberra: Australian National Council on Drugs.

Emmers, Ralf (a). 2003. The Threat of Transnational Crime in Southeast Asia: Drug-Trafficking, Human Smuggling and Trafficking, and Sea Piracy. Singapore: Institute of Defence and Strategic Studies (IDSS).

Jezz Diaz. The Philippine Star. http://www.philstar.com/ headlines/2012/11/14/866389/ddb-17-million- pinoys-hooked-drugs, diakses 18 Oktober 2021.

 

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel