
Sistem Pencegahan Narkoba Terintegrasi di Dalam Lapas
Oleh : Ratih Frayunita Sari, S.I.Kom., M.A
Penyuluh Narkoba Ahli Pertama BNN Provinsi Kepulauan Riau
Lapas dan Permasalahan Narkotika
Penyalahgunaan dan peredaran narkoba di Indonesia yang semakin meningkat menjadi sebuah ancaman yang serius bagi bangsa dan negara Indonesia karena dapat merusak generasi penerus bangsa. Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menegaskan bahwa saat ini Indonesia dalam keadaan “Darurat Narkoba”. Kejahatan Narkoba di Indonesia mengancam semua kalangan tanpa pandang bulu. Pelaku kejahatan Narkoba dikenai proses hukum dan berakhir di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Lapas sebagai Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan merupakan tempat pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan termasuk juga Narapidana perkara Narkotika, baik pecandu maupun pengedar.[1]
Di lain sisi, salah satu instansi yang tidak bebas dari penyalahgunaan dan peredaran narkoba adalah Lapas. Penyalahgunaan dan peredaran narkoba di Lapas setiap tahun terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Ditjen Pas bahwa 46% penghuni mayoritas Rutan dan Lapas adalah tahanan dan warga binaan narkoba. Dengan melihat kondisi tersebut, tidak menutup kemungkinan adanya permintaan dan penawaran Narkoba yang akan menjadi sebuah transaksi.
Hal tersebut juga diperparah dengan adanya overcrowding jumlah penghuni dan jumlah petugas di Lapas. Berdasarkan data Ditjen Pas 20 November 2019, jumlah tahanan sebanyak 68.162 orang, warga binaan sebanyak 198.818 orang, sementara kapasitas hanya sebanyak 130.622 orang. Berdasarkan data tersebut terdapat overcrowding sebesar 104%, hal ini dapat mengakibtakan diantaranya tidak terjaganya kebersihan lingkungan dan sanitasi di dalam Lapas yang berdampak pada munculnya berbagai penyakit, tidak maksimalnya pelayanan karena banyaknya narapidana yang menghuni lapas, hingga minimnya pengawasan yang berdampak pada penyelewengan wewenang oleh oknum sipir. [2]
Kurang maksimalnya pelayanan di dalam Lapas dapat menjadi celah untuk memunculkan pengendalian, peredaran, penyalahgunaan narkoba oleh tahanan, warga binaan, dan atau oleh oknum petugas. Direktur Kamtib Ditjen PAS Tejo Harwanto menyebut modus operandi penyelundupan narkoba maupun barang terlarang lainnya semakin beragam di Lapas maupun Rutan. Modus penyelundupan dapat melalui petugas, pengunjung, tahanan pendamping yang menjalani asimilasi hingga gerobak sampah, barang-barang kantin dan dapur. Bahkan, modus penyelundupan sudah memanfaatkan teknologi seperti drone hingga layanan transportasi online. [3]
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) berupaya terus untuk melakukan pencegahan masalah tersebut secara progresif dan serius. Seluruh jajaran Pemasyarakatan terus melakukan pembersihan di Lapas maupun Rutan se-Indonesia. Upaya yang dilakukan terutama dari sisi keamanan dan ketertiban (kamtib) hingga rehabilitasi narapidana kasus narkoba. Penambahan sarana prasarana teknologi hingga penambahan penjaga tahanan juga dilakukan guna mencegah peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Petugas pemasyarakatan juga akan mengikuti pelatihan yang diselenggarakan melalui kerjasama dengan International Criminal Investigative Training Assistance Program serta penguatan petugas sebagai pelaksana program rehabilitasi dan therapheutic community.
Upaya lain yang juga dilakukan yaitu melakukan kerja sama dengan penegak hukum lainnya untuk menangani peredaran dan penyalahgunaan narkoba dan obat-obatan terlarang di Lapas dan Rutan. Salah satu kerjasama yang dilakukan yaitu dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). Kerjasama ini yaitu untuk membangun sistem terintegrasi untuk menangani masalah narkoba guna mewujudkan Lapas Bersinar (Bersih Narkoba). Permasalahan yang terjadi di Lapas yakni kelebihan kapasitas penghuni. Lapas mengalami 104% kelebihan kapasitas (overcrowding). Kapasitas yang seharusnya bisa ditampung yakni sebesar 130.622 orang tetapi pada kenyataannya jumlah tahanan sebanyak 68.162 orang, warga binaan sebanyak 198.818 orang.
Upaya Mencegah Overcrowding
Kelebihan kapasitas di lapas atau rutan yaitu jumlah narapidana lebih banyak daripada jumlah ruang atau kapasitas penjara/lapas yang tersedia. Permasalahan yang terjadi saat ini akibat orientasi penerapan hukum pidana yang berkiblat pada penjara sehingga menghasilkan situasi overcrowded, situasi ini membuat munculnya berbagai masalah dari kaburnya narapidana atau tahanan dari sebuah lapas, terjadinya kerusuhan didalam lapas, peredaran narkotika yang dikendalikan dari dalam lapas dan berbagai permasalahan lainnya. Situasi ini terjadi bukan semata-mata karena adanya kesalahan dan kekeliruan dalam penanganan oleh petugas lapas atau minimnya sarana prasarana, namun terjadi secara kompleks antara sistem dengan pelaksanaan di lapangan dengan seluruh keterbatasanya. Oleh karena itu ada salah satu hal yang perlu dilakukan untuk meminimalisir overcrowded adalah penanganan terhadap pecandu sebaiknya di rehabilitasi medis dan sosial bukan di dalam lapas karena lapas bukan tempat ideal untuk para pecandu narkoba. Perlu asesmen yang kuat pakah yang bersangkutan betul-betul pemakai atau bandar. Selain itu diharapkan para penegak hukum lebih mengoptimalkan penahanan kota dan tahanan rumah daripadapenahanan rutan, terutama kasus tindak pidana ringan serta setiap kota dan kabupaten perlu dibangun lapas dan rutan, dibarengi dengan pengadaan petugas pemasyarakatan terlatih.
Upaya Pembangunan Sistem Terintegrasi
Sistem terintegrasi lapas pada dasarnya menyangkut keseluruh aspek terutama dari pemberantasan pengendalian narkoba di lapas, pencegahan ancaman terhadap warga binaan dan petugas lapas terlibat bisnis narkoba maupun penyalahgunaan serta pencegahan melalui penyerbaluasan informasi narkoba terhadap sekolah kedinasan ilmu pemasyarakatan di bawah Kemenkumham, upaya rehabilitasi, dan adanya peningkatan sistem teknologi informasi. Sistem terintegrasi dapat meliputi aspek preventif, represif, dan kuratif.
Preventif yakni melalui bentuk-bentuk penanganan preventif penyalahgunaan dan peredaran narkotika seperti memasukkan topik anti narkoba melalui adanya kurikulum materi kuliah sekolah kedinasan, adanya pembekalan informasi mengenai sistem pencegahan pada petugas lapas secara berkala baik dari pencegahan hingga upaya rehabilitasi, adanya pelatihan keahlian dan integritas pada petugas lapas tentang sistem pencegahan. Selain itu juga dapat dilakukan dengan berbagai muatan aktivitas pada warga binaan yang mengarah pada kegiatan spiritual, edukatif, dan life skills agar warga binaan memiliki kesadaran untuk memproteksi dirinya tidak terlibat lagi bisnis kejahatan narkoba. Selanjutnya dengan menggandeng perusahaan atau mitra yang dapat berkolaborasi dengan menyalurkan warga binaan lapas yang akan keluar untuk memperoleh dukungan moral dan ekonomi. Perlu juga dilaksanakan kegiatan KIE untuk petugas, narapidana, Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) tentang P4GN dari beberapa sudut pandang (Sosial, Budaya, dan Agama). Melakukan roliing atau mutasi petugas pemasyarakatan maksimal 1 tahun sekali untuk menghindari komunikasi dan kontaminasi dari narapidana.
Secara Kuratif. Jika mengacu ke Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 54 menyebutkan “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Lapas juga menyelenggarakan pembinaan dan pembimbingan terhadap nara- pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Pembinaan yang di lakukan di Lapas hanya sebatas menyiapkan narapidana untuk dapat kembali ketengah-tengah masyarakat (reintegrasi Social). Upaya yang dilakukan dengan memastikan akses layanan rehabilitasi, melaksanakan alur pelayanan rehabilitasi dan melakukan filterisasi atau pemisahan blok pecandu dengan para pengerdar, produsen, dan kurir. Selain itu juga dengan meningkatkan sistem teknologi informasi yang ada di lapas terutama dalam kaitan dengan pelayanan rehabilitasi.
Secara Represif yakni dalam penanganan narkotika di Lapas dapat diwujudkan dengan upaya di bidang hukum berupa tindakan represif yang dilakukan oleh BNN dalam penanganan narkotika di Lapas dengan menindak dan memproses narapidana yang diduga terlibat penyalahgunaan dan peredaran narkotika sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. Berbagai strategi yang dilakukan adalah melalui pengawasan komunikasi penggunaan telepon selular dan peredaran uang di dalam lapas yang melibatkan oknum petugas lapas maupun narapidana yang melakukan transaksi maupun konsumsi penyalahgunaan narkoba di dalam Lapas. Selain iyu penyediaan sarana/prasarana telephone untuk narapidana dengan pengaturan waktu dan dikhususkan untuk keluarga. Diberlakukannya sistem pencegahan terintegrasi ini untuk mewujudkan lapas bersih dari penyalahgunaan narkoba terutama permasalahan over crowding di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Sumber :
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2012 Tentang Narkotika
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
Peraturan Menteri Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan
Badan Narkotika Nasional (2018). Buku Pencegahan Narkoba di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Jakarta : BNN.
Dena Rofika. 2016. Pola Pencegahan Penyalahgunaan Peredaran Narkotika Di Lembaga Pemasyarakatan Dalam Rangka Mencapai Tujuan Pembinaan. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Monika Suhayati, Penegakan Hukum Peredaran Narkotika di Lapas dan Rutan, (2009) http://berkas. dpr.go.id/ puslit/files/info_singkat/Info%20
Singkat-VII-8-II-P3DI-April-2015-72.pdf, (diakses 10 Agustus 2021)
[1] Dena Rofika. 2016. Pola Pencegahan Penyalahgunaan Peredaran Narkotika Di Lembaga Pemasyarakatan Dalam Rangka Mencapai Tujuan Pembinaan. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
[2] Paparan Direktur Kamtib Ditjen PAS Tejo dalam Rapat Koordinasi Kemenkumham dan BNN RI
[3] Ibid