Skip to main content
EdukasiPencegahan dan Pemberdayaan MasyarakatArtikel

Resiliensi Terhadap Narkoba Pada Remaja

Dibaca: 194 Oleh 19 Jan 2022Maret 2nd, 2022Tidak ada komentar
Resiliensi Terhadap Narkoba Pada Remaja
#BNN #StopNarkoba #CegahNarkoba

Oleh : Ratih Frayunita Sari, S.I.Kom., M.A Penyuluh Narkoba Ahli Pertama BNN Provinsi Kepulauan Riau

Penyalahgunaan narkoba berdampak serius bagi penggunanya, antara lain menimbulkan gangguan kesehatan seperti gangguan fungsi organ tubuh hati, jantung, paru, ginjal, alat reproduksi dan penyakit menular seperti Hepatitis dan HIV/AIDS. Selain itu, pengguna narkoba dapat menderita gangguan jiwa seperti paranoid serta gangguan fungsi sosial. Tidak hanya itu, dampak krusial penyalahgunaan narkoba menimbulkan kerugian bersifat multidimensi terhadap kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik serta mengakibatkan kehilangan generasi muda. Maka, dampak penyalahgunaan narkoba tidak hanya menjadi ancaman, baik fisik maupun jiwa, yang sifatnya individual tetapi juga menjadi ancaman sosial bagi masyarakat sekitar, termasuk negara (Makarao, 2003: 49).

Dalam konteks upaya pencegahan penyalahgunaan Narkoba, dimensi   yang menjadi bagian dari konstruk resiliensi dapat dijadikan sebagai acuan bagi upaya identifikasi kemampuan individu dalam menghadapi berbagai permasalahan kehidupan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya untuk menggunakan dan menyalahgunakan Narkoba. Definisi reaching out untuk pembuatan alat ukur ketahanan diri anti Narkoba, reaching out didefinisikan sebagai “kemampuan untuk meningkatkan aspek positif kehidupan dengan cara menerima tantangan atau menggunakan kesempatan serta meningkatkan keterhubungan dengan orang lain”.

Ketahanan diri sebagai bentuk proteksi diri agar jauh dari bentuk penyalahgunaan narkoba. Ketahanan diri (anti) Narkoba didefinisikan sebagai “kemampuan individu untuk mengendalikan diri, menghindar dari dan menolak segala bentuk penyalahgunaan Narkoba”. Ketahanan diri individu terhadap dorongan, keinginan, atau pengaruh untuk menyalahgunakan Narkoba dengan menggunakan self regulation, assertiveness, dan reaching out sebagai dimensi. Dalam pandangan peneliti, tiga dimensi ini diperlukan individu untuk bertahan dari dorongan, keinginan, atau pengaruh untuk menyalahgunakan Narkoba.

Resilience merupakan interkasi antara faktor protektif dengan faktor resiko. Faktor protektif merupakan pengaruh, karakteristik, kondisi yang dapat menahan atau mengurangi pengaruh faktor risiko (Jenson & Frezer, 2010). Rutter secara umum menyebutkan bahwa faktor protektif merupakan prediktor yang sangat kuat bagi resilience dan berperan penting dalam proses yang melibatkan respon individu saat dihadapkan pada situasi yang berisiko tinggi. Secara umum, para peneliti menemukan tiga faktor protektif yang umumnya dimiliki oleh individu yang resilien, yaitu faktor personal, faktor keluarga, dan faktor sosial.Ketiga factor protektif tersebut yaitu faktor individu yang turut andil dalam mendukung resiliensi individu antara lain personal traits (seperti openess, extraversion, dan agreeableness), internal locus of control, mastery, self-efficacy, self-esteem, dan cognitive appraisal.  Selain itu, ada juga hal-hal yang disosialisasikan berhubungan dengan resiliensi, yaitu fungsi intelektual, fleksibilitas kognitif,hubungan sosial, konsep diri yang positif, regulasi emosi, emosi positif, spiritualitas, active coping, hardiness, optimisme, harapan, sumber daya, dan adaptabilitas.

Resiliensi sendiri menggambarkan kualitas kepribadian manusia, yang akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Sejalan dengan bertambahnya usia, maka terbuka juga kemungkinan berkembangnya resiliensi individu. Pengembangan resiliensi menurut Grotberg (2003) dapat dilakukan setahap demi setahap dengan mendasarkan pada lima dimensi pembangun resiliensi yaitu trust, autonomy, identity, initiative, dan industry. Salah satu aspek terpenting dalam resiliensi adalah self esteem. Self esteem atau harga diri merupakan sikap yang dimiliki tentang dirinya sendiri baik positif maupun negatif yang juga yang mengandung penghargaan terhadap dirinya sendiri. Self-esteem merupakan sebuah faktor yang dapat dianggap sebagai asset atau sumber daya dari pada resiliensi. Pembentukan self-esteem terjadi sejak masa kanak-kanak dan terbuka untuk senantiasa mengalami perubahan. Pembentukan self esteem mencakup dua proses psikologis, yaitu evaluasi diri (self evaluation) dan keberhargaan diri (self worth).

Menurut Rosenberg, self-esteem seseorang dapat dikategorikan menjadi dua yaitu, self-esteem tinggi dan self-esteem rendah. Seseorang dengan self-esteem tinggi, lebih menghargai dirinya atau melihat dirinya sebagai sesuatu yang bernilai dan dapat mengenali kesalahan-kesalahannya, tetapi tetap menghargai nilai-nilai yang ada pada dirinya. Sedangkan seseorang dengan harga diri yang rendah seringkali mengalami depresi dan ketidakbahagiaan, memiliki tingkat kecemasan yang tinggi, menunjukkan impuls-impuls agresivitas yang lebih besar, mudah marah dan mendendam, serta menderita karena ketidakpuasan akan kehidupan sehari- hari.

Self-esteem diperoleh sebagai agen penyebab yang aktif terhadap hal-hal yang terjadi di dunia dan dalam pengalaman untuk mencapai tujuan serta mengatasi rintangan-rintangan atau kesulitan yang muncul. Self-esteem sebagian terbentuk berdasarkan perasaan individu tentang kemampuan (competence) dan kekuatan (power) untuk mengontrol atau mengendalikan kejaidian-kejadian yang menimpa individu itu sendiri.  Perbandingan moral perbandingan moral adalah hal penting yang mempengaruhi self-esteem karena perasaan mampu atau berharga diperoleh dari performa individu yang Sebagian besar dilihat dari perbandingan antara performa individu satu dengan individu lainnya ketika melakukan tugas yang sama.

Sebagai upaya untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap narkoba dan dapat melanjutkan kembali kehidupannya, maka dibutuhkan suatu kemampuan untuk dapat bertahan dalam keadaan yang sulit tersebut. McCuubbin (2001) menyatakan bahwa suatu kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk kembali
bangkit dari keterpurukan dan keadaan yang mudah terserang atau kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan disebut resiliensi. Oleh karena itu, dengan memiliki kemampuan resiliensi yang baik, hal tersebut dapat mengurangi timbulnya kondisi mudah terserang dalam keadaan yang sulit dan membuat tertekan serta dapat meningkatkan kompetensi dankekuatan individu dalam menghadapi tantangan dan kesulitan.

Referensi :

Badan Narkotika Nasional RI, Panduan Indeks Ketahanan Diri Remaja, 2020, Jakarta

BNN, 2018, Laporan Akhir Pemetaan Ketahanan Diri (Anti) Narkoba, 2018.

Bandura, Social cognitive theory of self-regulation. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 50, 248-287.

Hawari, D. 2004. Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Makarao, M.T. 2003. Tindak Pidana Narkotik. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel