
Oleh : Ratih Frayunita Sari, S.I.Kom., M.A Penyuluh Narkoba Ahli Pertama BNN Provinsi Kepulauan Riau
Penyalahgunaan narkoba secara kontinuum pada dasarnya akan memberikan dampak buruk ketika penggunaannya sudah mencapai tahap ketergantungan (substance dependence). Penyalahgunaan obat-obatan atau zat-zat tersebut sangat berbahaya karena memberikan dampak yang negatif bagi fisik, psikis, dan sosial penggunanya. Orang-orang yang menyalahgunakan narkoba yang sudah pada level ketergantungan secara perlahan akan mengalami berbagai macam gangguan pada tubuhnya seperti gangguan sistem saraf, jantung dan pembuluh darah, sistem pernafasan, dan sebagainya.
Di samping itu juga muncul masalah pada pengendalian diri dan emosi seperti menjadi agresif, cemas, kehilangan kepercayaan diri, dan merasa tertekan. Hal ini diperparah dengan situasi sosial masyarakat dimana orang-orang yang menggunakan narkoba sering dikucilkan oleh masyarakat umum karena mereka biasanya menjadi tidak peduli dengan nilai dan norma masyarakat, hukum, agama, serta cenderung untuk melakukan tindak kriminal seperti: mencuri, berkelahi dan lain-lain.
Seseorang yang menggunakan narkoba untuk pertama kalinya tidak langsung merasakan dampak yang buruk dari penggunaan narkoba tersebut. Awalnya dia akan mendapatkan efek yang menyenangkan seperti mampu melupakan masalah dan mampu mengatasi perasaan negatif seperti ketegangan, kecemasan, depresi, perasaan ketidakwajaran, dan hal tidak menyenangkan lainnya yang dialaminya. Hal tersebut membuat seorang pengguna narkoba mengembangkan belief dan attitude yang positif terhadap narkoba . Ketika belief dan attitude yang positif telah berkembang pada pengguna narkoba, maka dia tidak akan ragu lagi untuk menggunakan narkoba agar mendapatkan kembali efek yang menyenangkan tersebut. Pengulangan pengunaan narkoba inilah yang akhirnya menjadi kunci utama yang membuat seseorang menjadi kecanduan terhadap narkoba hingga akhirnya membawanya pada kondisi ketergantungan. Kondisi ketergantungan ini membuat pengguna narkoba gagal dalam memenuhi tanggung jawabnya, berada dalam situasi yang berbahaya akibat penggunaan narkoba yang berulang-ulang, terjerat masalah hukum, dan bermasalah dalam menjalani interaksi sosial.
Dalam berbagai penelitian ditemukan bahwa pengguna narkoba memiliki drug-related belief, yang merupakan struktur kognitif yang maladaptif, yang mengarahkan pandangan dan pemikiran yang tidak tepat terhadap narkoba. Pemikiran pengguna narkoba yang menganggap narkoba bahwa narkoba memberikan efek diharapkannya seperti mampu mengatasi perasaan-perasaan negatif yang dimilikinya, tidak terbukti benar. Efek yang diharapkannya tersebut hanya berlaku sementara, dan tidak dapat benar-benar mengatasi perasaan-perasaan negatif tersebut. Beck (dalam Spiegler, 2003), mengatakan bahwa pandangan dan pikiran yang salah pada pengguna narkoba dapat mengarah pada pola pikir irasional dan juga dikenal dengan maladaptive/irrational cognition, yang menekankan pada kesalahan atau penyimpangan pemikiran yang dimiliki oleh individu. Penyimpangan pemikiran ini diistilahkan dengan cognitive distortion, yang muncul karena terjadi bias dalam proses pengelolaan informasi. Adanya cognitive distortion ini membuat individu mempersepsikan kejadian maupun situasi dengan tidak tepat.
Cognitive distortion dapat dikenali ketika isi pikiran dari pengguna narkoba yang muncul secara refleks dan tanpa adanya penjelasan yang mendukung bersifat tidak logis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ball, Brummett, Kazemi, dan Dide Roshan (dalam Mozaffari, 2014), dikatakan bahwa cognitive distortion yang dimiliki para pengguna narkoba membuat mereka memberikan penilaian yang negatif terhadap dirinya seperti menganggap diri sebagai orang yang bersalah, buruk, dan rendah.
Terdapat enam jenis cognitive distortion. Pada penelitian ini, peneliti akan melihat keenam jenis tersebut pada pengguna narkoba. Adapun keenam jenis cognitve distortion tersebut, Arbitrary Inference Beck (dalam Spiegler, 2003) mendefinisikan arbitrary inference sebagai penarikan kesimpulan tanpa adanya bukti yang cukup, atau yang bertentangan dengan bukti sebenarnya. Individu sering kali untuk menafsirkan situasi, peristiwa, atau pengalaman tanpa bukti pendukung ataupun tidak menguji lebih lanjut bukti-bukti yang ada (Beck, 1963). Gilbert (dalam Roberts, 2015) menyebutkan bahwa arbitrary inference juga dikenal dengan istilah jumping to conclusions. Gilbert juga mengatakan bahwa arbitrary inference merupakan jenis cognitive distortion yang paling menonjol karena orang cenderung untuk cepat mengambil kesimpulan atau keputusan yang tidak adaptif ketika menghadapi berbagai situasi, terutama dalam situasi darurat.
Overgeneralization Beck (dalam Spiegler, 2003) mendefinisikan overgeneralization sebagai pengambilan kesimpulan umum berdasarkan satu insiden atau kejadian. Freeman (2004) mengatakan bahwa kejadian negatif merupakan yang paling sering digeneralisasikan dengan kejadian lainnya dan diyakini akan kembali terjadi di kejadian baru.Selective Abstraction Beck (dalam Spiegler, 2003) menjelaskan bahwa selective abstraction lebih mengarah pada pengabaian keseluruhan konteks dalam kejadian maupun situasi dan hanya berfokus pada suatu bagian yang mendetail saja. Gilbert (dalam Roberts, 2015)) mengemukakan bahwa jenis distorsi ini berasal dari bias atensi, yang dapat terjadi tanpa kesadaran dan berfokus pada informasi negatif. Freeman dkk (2004) menyebutkan bahwa selective abstraction juga dikenal dengan mental filter dan menjelaskan bahwa individu dengan jenis distorsi ini hanya berfokus pada satu bagian detail dan mengabaikan bagian lain yang lebih masuk akal.
Personalization Beck (dalam Spiegler, 2003) menjelaskan personalization sebagai kekeliruan dalam menghubungkan kejadian maupun peristiwa yang sedang terjadi dengan diri sendiri. Freeman dkk (2004) juga menambahkan bahwa individu yang mengalami distorsi ini menyalahkan dirinya dan menganggap dirinya sebagai penyebab terjadinya suatu peristiwa dan mengabaikan faktor-faktor lain yang juga berpengaruh. Dichotomous Thinking Beck (dalam Spiegler, 2003) menjelaskan dichotomous thinking sebagai pemikiran yang ekstrim dalam model hitam-atau-putih ataupun semua- atau-tidak sama sekali. Freeman dkk (2004) menambahkan individu yang mengalami distorsi ini memiliki pemikiran dalam kategori eksekusi, seperti ya atau tidak, hitam atau putih, tidak ada area abu-abu.
Magnification dan Minimization Beck (dalam Spiegler, 2003) menjelaskan bahwa pada distorsi ini individu melihat sesuatu lebih besar atau kurang dari yang sebenarnya. Beck (1963) dan Freeman dkk (2004) menjelaskan individu yang mengalami magnification atau catastrophizing dan minimization akan membesar- besarkan atau melebih-lebihkan kejadian negatif dan memandang rendah atau mengabaikan hal baik dan penting yang terjadi padanya.
Kondisi tersebut menjelaskan mengapa para pengguna narkoba lebih memilih menggunakan narkoba ketika mengahadapi situasi yang sulit meskipun mengetahui bahwa menggunakan narkoba adalah hal yang salah dan memberikan dampak yang buruk bagi diri mereka. Adanya cognitive distortion ini juga semakin mendorong pengguna narkoba untuk tetap menggunakan narkoba. Hal ini terjadi karena pengguna narkoba merasa dirinya semakin membaik ketika sudah menggunakan narkoba. Pengguna narkoba yang telah menggunakan narkoba dapat merasa lebih tenang, lebih bersemangat, dan percaya diri. Pengguna narkoba merasa dapat bebas dari permasalahan yang sedang mereka hadapi dan tidak lagi merasakan tekanan dari permasalah tersebut.
Untuk mengidentifikasi cognitive distortion dapat dibantu dengan menggunakan cognitive theraphy. Dalam cognitive theraphy, pengguna narkoba akan dipandu untuk menyadari cognitive distortion yang dia miliki sehingga dapat mengubahnya dan dapat mengembangkan perilaku yang lebih adaptif dalam situasi-situasi yang dihadapinya. Namun meskipun demikian terapi yang dilakukan untuk cognitive distortion menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dari terapi dengan pendekatan konsep kognitif perilaku untuk mencegah relapse. Bila ditinjau per individu dalam kelompok eksperimen, ada perbedaan reaksi terhadap terapi kognitif perilaku, ada yang menunjukkan relapse dan ada juga yang kembali pulih, sehingga dibutuhkan pendekatan lebih eksperimental lagi dengan mengedepankan terapi emosional pecandu.
Referensi :
Beck, A.T. 1963. Thingking and depression. I. Idiosyncratic content and cognitive
distortion. Archives of General Psychiatry. Beck, A. T. 1967. Depression: Clinical, experimental, and theoretical aspects. New York: Hoeber.
Beck, J. S. 1995. Cognitive therapy: Basics and beyond. New York, NY: Guilford Press.
Beck, A.T., Wright, F.D., Newman, C.F., & Liese, B.S. 1993. Cognitive therapy of substance abuse. USA: Guilford Press.
Hutasoit, ramot. 2017. Gambaran Cognitive Distortion pada Pengguna Narkoba. Medan : Universitas Sumatera Utara