Skip to main content
EdukasiArtikel

Perspektif Hukum dalam Permasalahan Narkoba

Dibaca: 1553 Oleh 15 Okt 2021November 1st, 2021Tidak ada komentar
Perspektif Hukum dalam Permasalahan Narkoba
#BNN #StopNarkoba #CegahNarkoba

oleh : Ratih Frayunita Sari, S.I.Kom., M.A

Penyuluh Narkoba BNN Provinsi Kepulauan Riau

Beberapa pakar yakni ahli medis dan ahli hukum menyatakan terdapat dampak yang kompleks terhadap pemakaian narkotika. Dampak permasalahan narkotika sangat kompleks selain merusak kesehatan juga merusak masa depan peradaban manusia. Sebab dalam tindakan penyalahgunaan narkotika yang diserang adalah susunan syaraf. Narkotika memang sudah menjadi masalah yang sangat kompleks dan mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang bisa mengakibatkan hilangnya suatu generasi bangsa sehingga kelangsungan suatu negara pun terancam. Indonesia merupakan negara yang termasuk tinggi dalam hal penyalahgunaan narkotika. Tingginya penyalahgunaan narkotika tersebut terus dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Penyebab dari masuknya narkotika ke Indonesia juga karena lemahnya penegakan hukum di Indonesia dan ada pemikiran akan mudahnya menyuap oknum penegak hukum. Selain itu juga bisa diakibatkan karena mudahnya masuk ke wilayah Indonesia lewat laut yang karena begitu luasnya seringkali tidak ada petugas dan alat pemindai yang cukup untuk mengawasi beberapa pintu masuk ke perairan kita. Penyebab lain adalah penduduk Indonesia yang berjumlah besar 270 juta jiwa sangat menguntungkan untuk dijadikan sebagai pasar untuk penjualan narkotika. Faktor berikutnya adalah rapuhnya perlindungan serta lemahnya awareness pada anak-anak kita mengenai bahaya yang sesungguhnya dari narkotika. Mungkin itu pula yang menjadi salah satu penyebab gagalnya program demand reduction.

Hukum sebagai suatu norma berfungsi mengatur perilaku atau perbuatan-perbuatan manusia yang boleh dilakukan atau dilarang sekaligus dipedomani bagi manusia untuk berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga tercipta suatu ketertiban atau keteraturan hidup dalam bermasyarakat.Berbagai media, baik cetak maupun elektronik, selalu memberitakan atau menayangkan peredaran narkotika di Indonesia sangat tinggi. Masih tingginya peredaran narkotika di Indonesia dipastikan ada yang salah dalam penerapan sistem hukum dalam rangka menekan serendah-rendahnya tingkat peredaran narkotika di Indonesia.

 

Sekarang ini peraturan perundang- undangan terkait dengan narkotika di Indonesia antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Againstillicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988), kemudian Indonesia mengeluarkan undang-undang untuk menanggulangi kejahatan narkotika di Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika).

Permasalahan sekarang ini adalah penangkapan tangan pengguna narkotika sebagai penyalahguna narkotika dipidana hukuman pidana penjara setelah memperoleh putusan yang tetap dari hakim. Hal ini memang termasuk tahapan pemberantasan peredaran gelap narkotika, namun tidak memberikan penurunan persentase peredaran narkotika di Indonesia. Dibandingkan dengan tahapan pencegahan yang didahulukan misalnya jika tertangkap tangan sebagai pengguna narkotika tentunya dengan identifikasi dari pihak penegak hukum maka hakim langsung memberikan putusan bahwa pengguna narkotika langsung menjalani rehabilitasi. Pengguna narkotika yang menjalani rehabilitasi akan jauh lebih mudah dipantau dan diawasi. Jika dibiarkan masuk penjara yang dikumpulkan dengan para pengguna dan pengedar narkotika, Maka akan semakin menjadi tinggi tingkat penyalahgunaan narkotikanya bahkan jika kehabisan uang akan menjadi pengedar narkotika.

Adapun Malaysia telah terlebih dahulu menempatkan warganegaranya yang dikategorikan sebagai pengguna narkoba sebagai korban dan bukan lagi pelaku kejahatan. Para pengguna/pecandu narkoba di Malaysia mendapatkan vonis untuk direhabilitasi walaupun dengan batas maksimal sebanyak 3 (tiga) kali. Negara lainnya yaitu Portugal yang memutuskan untuk menyatakan bahwa pecandu narkoba yang diartikan sebagai memiliki narkoba untuk digunakan sendiri tetap terlarang, namun pelanggaran dari aturan ini akan dianggap sebagai pelanggaran administratif, dan bukan lagi dianggap sebagai kejahatan. Terkait kebijakan di 2 (dua) negara tersebut terjadi penurunan angka pemakai narkoba, penurunan angka kematian akibat penggunaan narkoba dan penurunan kasus HIV/AIDS. Hal demikian justru berbeda dan bertolak belakang dengan Indonesia yang mana setiap tahunnya angka pengguna narkoba meningkat, lembaga permasyarakatan overload dengan para narapidana terkait penggunaan narkoba.

Bagaimana tingkat peredaran narkotika di Indonesia menurun jika yang difokuskan sebagian besar hanya pada aspek pemberantasannya saja. Aspek pencegahan juga sangat penting untuk menekan peredaran narkotika di Indonesia. Tingkat peredaran narkotika di Indonesia yang masih sangat tinggi sampai sekarang ini memberikan dampak penyalahgunaan narkotika oleh masyarakat. Aspek pencegahan terhadap peredaran narkotika di Indonesia seperti kebijakan yang berpihak kepada masyarakat yang menjadi korban atas peredaran narkotika dimana siapapun yang menangkap baik Polisi atau BNN harus direhabilitasi dengan tujuan agar menjadi sembuh dan tidak kembali lagi menggunakan narkotika. Fasilitas rehabilitasi di Indonesia harus didukung oleh pihak pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Fasilitas rehabilitasi bagi korban peredaran narkotika yang terdapat sampai pelosok daerah akan sangat membantu menurunkan tingkat peredaran narkotika di Indonesia.

Secara umum, penyalahgunaan narkotika melibatkan 3 (tiga) kelompok pelaku utama yaitu Pertama,produsen,baik jaringan nasional maupun internasional; Kedua, pengedar yang terdiri dari 2 (dua) kategori pengedar yang berasal dari jaringan produsen dan pengedar lepas yang biasa disebut kurir; Ketiga, pengguna, yaitu masyarakat dari semua elemen. 3 (tiga) kelompok utama tersebut dapat menjadi satu mata rantai yang sulit dipisahkan. Beberapa istilah yang berkaitan dengan konsep tingkat penyalahgunaan narkotika yakni klasifikasi dari kategori pengguna narkotika sebagai berikut: Abstinence, yaitu periode dimana seseorang tidak menggunakan narkoba sama sekali untuk tujuan rekreasional. Social use, yaitu periode dimana seseorang sudah memulai mencoba narkoba untuk tujuan rekreasional namun tidak  berdampak pada kehidupan sosial, financial, dan juga medis si pengguna. Artinya si pengguna ini masih bisa mengendalikan kadar penggunaan narkoba tersebut.

Early problem use, yaitu periode dimana individu sudah menyalahgunakan zat adiktif dan perilaku penyalahgunaan sudah menimbulkan efek dalam kehidupan sosial si penyalahguna seperti malas sekolah, bergaul hanya dengan orang-orang tertentu, dan lainnya.  Early addiction, yaitu kondisi si pecandu yang sudah menunjukkan perilaku ketergantungan baik fisik maupun psikologis, dan perilaku ini menggangu kehidupan sosial yang bersangkutan. Si pecandu sangat sulit untuk menyesuaikan dengan pola kehidupan normal, dan cenderung melakukan hal-hal yang melanggar nilai dan norma yang berlaku. Severe addiction, yaitu periode seseorang yang hanya hidup untuk mempertahankan kecanduannya dan sudah mengabaikan kehidupan sosial dan diri sendiri. Pada titik ini, si pecandu sudah berani melakukan tindakan kriminal demi memenuhi kebutuhan konsumsi narkoba. Early problem use, yaitu periode dimana individu sudah menyalahgunakan zat adiktif dan perilaku penyalahgunaan sudah menimbulkan efek dalam kehidupan sosial si penyalahguna seperti malas sekolah, bergaul hanya dengan orang-orang tertentu, dan lainnya.

Early addiction, yaitu kondisi si pecandu yang sudah menunjukkan perilaku ketergantungan baik fisik maupun psikologis, dan perilaku ini menggangu kehidupan sosial yang bersangkutan. Si pecandu sangat sulit untuk menyesuaikan dengan pola kehidupan normal, dan cenderung melakukan hal-hal yang melanggar nilai dan norma yang berlaku. Severe addiction, yaitu periode seseorang yang hanya hidup untuk mempertahankan kecanduannya dan sudah mengabaikan kehidupan sosial dan diri sendiri. Pada titik ini, si pecandu sudah berani melakukan tindakan kriminal demi memenuhi kebutuhan konsumsi narkoba.

Salah satu permasalahan yang belum diakomodir secara jelas adalah terkait pengaturan pengguna narkotika di dalam UU Narkotika. Hanya saja Pasal 1 angka 15 menyatakan bahwa penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Penyalahguna narkotika dapat diartikan secara luas termasuk produsen, pengedar maupun pengguna. Mereka semua menyalahgunakan narkotika. Hal ini menyebabkan kedudukan pengguna narkotika menjadi sulit untuk diposisikan apakah sebagai pelaku atau korban dari kejahatan tindak pidana narkotika. Jika diposisikan sebagai pelaku maka akan dijatuhkan hukuman pidana dan jika diposisikan sebagai korban maka akan diarahkan untuk rehabilitasi. Ketidakjelasan pengaturan tersebut akan menyebabkan salah tafsir dalam memberikan hukuman pidana.

Ketentuan tersebut dapat menimbulkan kerancuan dalam UU Narkotika, khususnya dalam ketentuan rehabilitasi bagi pengguna. Dalam ketentuan yang ada dalam UU Narkotika disebutkan bahwa setiap pecandu wajib menjalani rehabilitasi, namun dalam ketentuan selanjutnya disebutkan bahwa dalam prosedur yang harus dilewati dalam tahapan rehabilitasi harus mendapatkan persetujuan dari korban yang bersangkutan. Hal ini merupakan 2 (dua) hal yang bertentangan karena pada umumnya pecandu tidak akan memberikan persetujuannya untuk menjalani rehabilitasi.

Dalam UU Narkotika tersebut masih perlu pengaturan yang lebih jelas mengenai posisi pengguna sebagai korban serta perlu juga dilakukan revisi terhadap zat-zat yang ada dalam lampiran. Sementara itu penerapan pasal terkait dengan pecandu narkotika banyak menimbulkan permasalahan yakni dimasukkan dalam klasifikasi mana dapat dikatakan seseorang sebagai pecandu narkotika. Selain itu aturan terkait dengan pecandu juga menimbulkan kerancuan dan multitafsir terutama dalam menentukan kategori antara pecandu dan penyalahguna narkotika. Oleh karena itu untuk menentukan seseorang adalah pecandu atau pengguna perlu dilakukan kajian medis, kajian jaringan serta kajian hukum.

3 (tiga) kajian tersebut sebagai pertimbangan bagi penegak hukum untuk menentukan apakah si tertangkap tangan termasuk pengguna, kurir, atau pengedar narkotika. Kajian medis dilihat dari apakah yang bersangkutan memiliki riwayat kesehatan yang dinyatakan surat dokter bahwa yang bersangkutan adalah pecandu. Kajian jaringan dilihat dari uji laboratorium atas urin yang bersangkutan. Kajian hukum, yang bersangkutan melanggar pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika. Seorang pecandu dalam penerapan di lapangan dikenakan Pasal 127, dan harus dilengkapi dengan hasil tes urine dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan keterangan dokter yang merawat, barulah dapat diyakini bahwa seorang tersangka tersebut adalah seorang pecandu dan dari pendekatan perspektif restorative justice dia adalah korban dan tidak layak dikenakan sanksi pidana.

Daftar Pustaka :

Iskandar, Anang. 2015. Jalan Lurus: Penanganan Penyalah Guna Narkotika dalam Konstruksi Hukum Positif. Karawang: CV Viva Tanpas.

  1. Arief Mansur, Dikdik dan Elisatris Gultom. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.

Rahardjo, Satjipto. 2012. Ilmu Hukum. Cet. ke 7. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel