Skip to main content
EdukasiArtikel

Komunikasi Politik “Eksekusi Mati” Gembong Narkoba

Dibaca: 60 Oleh 18 Okt 2021November 1st, 2021Tidak ada komentar
Komunikasi Politik “Eksekusi Mati” Gembong Narkoba
#BNN #StopNarkoba #CegahNarkoba

oleh : Ratih Frayunita Sari, S.I.Kom., M.A

Penyuluh Narkoba BNN Provinsi Kepulauan Riau

Hukuman mati merupakan hukuman yang paling berat yang dijatuhkan kepada terpidana pelaku tindak kejahatan. Berbagai kejahatan tingkat berat dapat dipertimbangkan hakim untuk dijatuhkan hukuman tingkat berat (hukuman mati) apabila dapat dibuktikan dipersidangan sesuai dengan alat bukti yang cukup dan mengarah kepada terdakwa. Dilihat dari tahun penghapusan hukuman mati, Perancis merupakan negara pertama dari 9 negara ini yang menghapus hukuman mati, diikuti oleh Belanda, Australia, Brasil, Spanyol Singapura, Inggris, dan terakhir Senegal. Secara umum, argumentasi perubahan politik hukum pidana mati di beberapa negara didasarkan pada pemikiran bahwa efektivitas pidana mati dalam mengurangi kejahatan serta fungsi hukuman mati dan juga hukuman seumur hidup, tersebut sesungguhnya tidak memberikan kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki perilakunya. Jadi sanksi hanyalah bersifat pembalasan.

 Di samping itu, perubahan politik hukum pidana mati di beberapa negara tersebut dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran hak asasi manusia antara lain Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil Politik (ICCPR). Pasal 6 ayat (1) ICCPR menyebutkan bahwa pada setiap insan manusia melekat hak untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun insan manusia yang secara gegabah boleh dirampas kehidupannya. Penjatuhan eksekusi mati gembong narkoba yang ada di Indonesia menyisakan banyak cerita. Aspek HAM yang menjadi isu yang diperbincangkan di berbagai media. Namun di luar dari hal tersebut ekseskusi mati ini pada prinsipnya terkait dengan berbagai konteks terutama pesan politik.

Ada istilah mati dan kematian di dalamnya, dan ini dipahami sebagai proses. Kematian dianggap sebagai penerjemahan dari kekuasan Tuhan bukan kekuasan negara untuk mengatur hak setiap manusia untuk mati atau diakhiri hidupnya, bahkan oleh negara. Eksekusi mati menyisakan berbagai potongan pesan politik karena melibatkan aktor komunikator politik yakni para profesional politik baik dari aparat penegak hukum, presiden, pihak yang melakukan eksekusi mati secara langsung, serta keluarga dari para tereksekusi mati. Dala konteks komunikasi politik, bukan hal penting untuk memahami apakah sebuah pesan politik tersebut disampaikan dengan bahasa politik. Namun dapat dilihat dari 3 hal yakni substansi informasi, lokasi atau tempat, dan fungsi yang dijalankan dari eksekusi mati tersebut.

Jika melihat bagaimana presiden menolak grasi tindak pidana narkoba ini pada dasarnya bukanlah kosaksata dalam politik melainkan pemeunuhan unsur bahasa politik sesuai fungsi yakni keputusan Presiden sebagai kepala negara. Statement yang berkali-kali disampaikan bahwa Indonesia tidak memberikan ampun pada bandar narkoba dengan menjatuhi hukuman mati telah menjadi trademark yang perlu dilaksanakan. Keputusan penting dalam menjalani eksekusi mati adalah sebuah keharusan.

Potongan dari gambaran adanya penolakan grasi ini telah melahirkan pergesaran pesan dalam mengubah makna menjadi proses komunikasi. Komunikasi yang dilakukan secara tidak langsug antara pemohon dan presiden yang bisa memaknai pesan yang ada serta melempar dalam ruang publik dan menjadi keputusan politik. Melihat pada Teori McLuhan bahwa media tidak hanya mempengaruhi masyarakat dari konten yang disampaikan melalui media, tetapi juga oleh karakteristik media itu sendiri. Eksekusi mati ini juga melibatkan saluran penting untuk mendistribusikan pesan tersebut pada publik, dan ini menjadi hal yang urgen atau tidak tergantung pada bagaimana media menyajikan semuanya.

Terdapat juga pandangan menyeluruh terhadap makna pesan komunikasi politik pemerintah dengan melaksanakan hukuman mati terhadap para gembong narkoba yakni pesan yang memberikan aspek kengerian kematian, regu tembak. Pesan-pesan ini muncul dalam berbagai bentuk simbolik tayangan di media yang membuat informasi eksekusi mati ini menjadi sangat dinanti-nantikan oleh semua orang. Kata “mati” memberikan implikasi terhadap kejahatan yang lebih provokatif. Makna lain juga muncul dari fenomena politik pemerintah yang ingin membuktikan ketegasan terhadap kejahatan narkoba.

Secara historis, hukuman mati diterapkan di hampir semua negara di dunia. Namun demikian, dalam perkembangannya perubahan politik hukum nasional di beberapa negara yang dipengaruhi pandangan HAM, jenis hukuman ini dihapus. Hukum positif Indonesia tetap menerapkan hukuman mati. Argumentasinya, kejahatan yang dilakukan terpidana telah merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara, situasi yang akan berdampak buruk terhadap daya saing bangsa. Kejahatan yang dilakukan telah menimbulkan luka yang dalam bagi keluarga dan korban serta menimbulkan kerusakan bahkan kematian bagi korban.

Eksekusi terhadap terpidana mati merupakan konsistensi dalam politik hukum yang telah mengakui hukuman mati.  Makna lain juga dapat dilihat bahwa pesan kematian menyisakan fenomena komunikasi politik  yang ingin membuktikan ketegasan pemerintah terhadap kejahatan narkoba. Sama tegasnya dengan ketegasan terhadap teroris, ritual kematian, lewat tangan eksekutor sebagai pesan itu sendiri. Namun banyak potongan pesan yang harus menjadi puzzle pesn pemerintah untuk memperlihatkan ketegasan dalam menanggulangi masalah narkoba.

Mozaik itu seharusnya tidak berakhir diujung senapan dan peluru regu tembak yang menjadi eksekutor, namun dapat membangkitkan pesan lain bagi komunikasi politik pemerintah terhadap kejahatatan sejenis atau yang lain yang juga memmberikan implikasi sama terhadap masyarakat. Setting  dari pentingnya menata komunikasi politik bagi publik menjadi hal sangat penting agar tidak hanya memberikan efek jera namun menjadi bingkai pengaturan masalah narkoba di Indonesia. Kekuatan pesan politik ini perlu menjadi supremasi hukum atas berbagai kejahatan yang ada yang merusak tatanan hidup masyarakat. Eksekusi mati seharusnya tidak hanya memutus rantai pelaku narkoba namun juga memberikan ketegasan tidak bermunculan hal yang sama. Namun demikian, tulisan ini merekomendasikan ke depan agar penerapan pidana mati perlu dilakukan secara hati-hati, terutama untuk menyeleksi tindak pidana apa saja yang layak dihukum dengan pidana mati dan tidak mendapatkan pengampunan melalui pemberian grasi oleh Presiden, serta teknis pelaksanaan eksekusinya.

Daftar Pustaka :

Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan di Masa Depan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Mahfud M.D. 2006. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. LP3ES, Jakarta,

Muladi (ed). 2005. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM). Bogor: Ghalia Indonesia.

Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right).

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel