Skip to main content
EdukasiPencegahan dan Pemberdayaan MasyarakatArtikel

Good Looking Maha Benar: Sebuah Opini Masyarakat Yang Menghalalkan Narkoba Pada Jajaran Artis Cakep Ibu Kota

Dibaca: 135 Oleh 10 Jan 2022Maret 2nd, 2022Tidak ada komentar
Good Looking Maha Benar: Sebuah Opini Masyarakat Yang Menghalalkan Narkoba Pada Jajaran Artis Cakep Ibu Kota
#BNN #StopNarkoba #CegahNarkoba

Rizki Pramisya, S.Psi Staff P2M BNNP KEPRI

Publik dalam beberapa bulan terakhir ini dikejutkan dengan berbagai pengungkapan kasus penyelahgunaan narkoba yang menjerat kalangan selebritis ternama Indonesia seperti Rizky Nazar, Fico Fachriza, dan Ardhito Pranomo. Meskipun memiliki kasus yang sama, namun ketiga selebritis ini mendapatkan opini berbeda dari kacamata publik. Lagi-lagi pengaruh halo effect mengiringi opini masyarakat dalam mengomentasi suatu kasus kriminal. Edward Thorndike (1920) mengungkapkan bahwa halo effect merupakan bias kognitif yang mampu mempengaruhi pandangan manusia disertai dengan tindakan manipulasi perasaan dan pikiran terhadap suatu objek (manusia, produk, perusahaan, dsb). Singkatnya, halo effect ialah kesan pertama yang diberikan objek dan mempengaruhi opini masyarakat.

Ketiga artis tersebut tentu memiliki kedudukan masing-masing yang positif dihati masyarakat. Rizky Nazar dengan kehebatannya dalam berperan, Fico Fachriza dengan sifat komediannya yang sangat menghibur, dan Ardhito Purnomo dengan karya-karya musiknya serta suaranya yang merdu. Lantas mengapa ketiganya mendapat respon yang berbeda ketika terjerat kasus yang sama?

Ternyata, Thorndike menggungkapkan bahwa penampilan menjadi awal permulaan halo effect. Usia, Gender, Ganteng/Cantik atau tidak keduanya menjadi standar bagaimana iringan opini terhadap suatu kasus yang dilakukan berikutnya.

Istilah “good looking” mulai ramai dibincangkan setelah banyaknya komentar positif yang diutarakan pada kasus-kasus kriminal yang dilakukan artis-artis berwajah tampan di Indonesia. Seolah-olah fokus utama publik tidak pada tindakan kriminalitas yang dilakukan, melainkan paras menjadi tolak ukur sifat dan tindakan mereka.

Gapapa, anggap aja sebagai pelajaran. Manusiakan tempatnya salah, nobady’ s perfect. Semangat ganteng! Semoga rehab aja ya, kasian kalau dipenjara ga tega”, kemudian netizen lain menanggapi komentar tersebut “Betul, ga setuju sih kalo di penjara, masa kesalahan sekecil itu harus dipenjara. Orang ganteng gak pantes dipenjara”. Ujar beberapa netizen menanggapi kasus penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh Rizky Nazar dan Ardhito Purnomo.

Berbeda dengan komentar netizen pada kasus Fico Fachriza, beberapa dari mereka mengatakan “Hap lalu ditangkap”, kemudian netizen lainnya mengutarakan “si legenda tertangkap juga”. Seolah-olah kasus yang menimpa Fico Fachriza memang wajar dan pantas untuknya.

Hal ini dibahas dalam penelitian yang dilakukan oleh Miller (1970) yang menemukan hasil bahwa penampilan fisik sering kali menjadi salah satu ciri pertama yang diperhatikan seseorang dalam mengevaluasi orang lain, banyak individu yang memiliki persepsi bahwa orang yang menarik umumnya memiliki sifat yang lebih positif. Pendapat serupa juga dibenarkan dalam temuan penelitian Griffin dan Langlois (2006) yang menyatakan bahwa daya tarik penampilan mempengaruhi stereotip individu. Seseorang yang tidak menarik secara penampilan dikaitkan dengan sifat-sifat negatif.

Ini tentu menjadi stereotip yang keliru dalam masyarakat yang menggiring pada pemikiran bahwa narkoba bukanlah tindakan kriminal luar biasa dan masalah serius yang harus disikapi secara tegas dan tuntas. Media juga memiliki peran dalam membingkai suatu peristiwa yang dikemas untuk memunculkan respon masyarakat yang tepat dalam suatu kasus tindak kriminal, guna memberikan efek jera terhadap para pelaku penyalahgunaan narkoba tanpa menjadikan penampilan sebagai tolak ukur.

Daftar Pustaka:

Griffin, A.M., & Langlois, J.H. (2006). Stereotype directionality and attractiveness stereotyping: Is beauty good or is ugly bad? Social Cognition, 24(2), 187-206.

Miller, A.G. (1970). Role of physical attractiveness in impression formation. Psychonomic Science, 19(4), 241-243.

Thorndike, E. L. (1920). A constant error in psychological ratings. Journal of Applied Psychology, 4(1), 25–29. doi:10.1037/h0071663 .

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel