
oleh : Ratih Frayunita Sari, S.I.Kom., M.A Penyuluh Narkoba BNN Provinsi Kepulauan Riau
Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak putusan hakim terhadap kasus narkotika, semakin intensifnya upaya yang dilakukan penegak hukum terhadap kejahatan narkotika semakin meningkat pula peredaran dan penyalahgunaan narkotika tersebut. Upaya penanggulangan masalah adiksi narkotika menuntut langkah dan kebijakan yang tepat agar angka penyalahgunaan narkotika yang tinggi di negeri ini bisa ditekan, Penanganan narkotika dengan menggunakan pendekatan penegakan hukum rupanya belum menghasilkan solusi yang sesuai dengan upaya pencegahan, pemberatasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sering disingkat yaitu P4GN yang telah dicanangkan Badan Narkotika Nasional.
Berangkat dari hal tersebut bahwa BNN telah memiliki suatu kebijakan yaitu depenalisasi terhadap pecandu narkotika guna membangun paradigma yang berkembang dimasyarakat kita saat ini ialah menganggap kecanduan narkotika sebagai pelanggaran serius dan pelakunya pantas diberi hukuman penjara, persepsi inilah yang perlu dirubah dalam penanganan kasus narkotika. Dimana di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika telah memberikan kewenangan kepada hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika untuk dapat memutuskan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, baik pecandu narkotika tersebut terbukti atau tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana.
Kebijakan depenalisasi penyalahguna narkotika telah sesuai dengan arahan Presiden Republik Indonesia. Melalui kebijakan ini, para korban penyalahgunaan narkotika atau pecandu dapat diberikan upaya berupa rehabilitasi dan pembimbingan menuju kehidupan yang lebih baik. Solusi ini lebih tepat dibandingkan dengan menempatkan pecandu atau korban ke dalam lembaga pemasyarakatan. Penerapan hukum pidana berupa penjara bagi korban penyalahguna narkotika terbukti telah gagal karena justru setiap tahunnya korban penyalahguna yang masuk penjara angkanya semakin naik. Kebijakan serupa yang selama ini telah berjalan di negara-negara seperti Portugal, Luxembourg, dan Thailand menunjukan keberhasilan dalam menekan angka prevelensi penyalahguna narkotika.
Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika adalah suatu proses pengobatan untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan, dan masa menjalani rehabilitasi tersebut diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika juga merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi melakukan penyalahgunaan narkotika. Dengan memperhatikan bahwa sebagaian besar narapida atau tahanan kasus narkotika adalah masuk katagori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit, oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat.
Sanksi tindakan (maatregel) sebagai salah satu sanksi yang terdapat di dalam undang-undang narkotika berupa rehabilitasi, Sanksi tindakan bertujuan melindungi masyarakat serta mewujudkan efektifitas dalam upaya pencegahan dan penyalahgunaan narkotika dan sebagai wujud kesetaraan sanksi tindakan dan sanksi pidana inilah yang menjadi dasar pemikiran dari konsep doubel track system yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan narkotika
Rehabilitasi”sebagai tujuan utama”dari jenis sanksi tindakan”memiliki keistimewaan”dari segi proses resosialisasi”pelaku, sehingga diharapkan”dapat memulihkan”kualitas sosial dan moral dalam masyarakat. Kesetaraan kedudukan sanksi pidana dan sanksi tindakan sangat bermanfaat untuk memaksimalkan penggunaan kedua jenis sanksi tersebut secara proporsional.
Menggunanakan narkotika untuk diri sendiri merupakan suatu kejahatan namun dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka dalam kasus penyalahgunaan narkotika dibutuhkan analisis yang lebih lanjut, Merujuk pada pembahasan yang sebelumnya bahwasannya seorang penyalahguna juga dapat dikatakan sebagai korban dari kejahatan peredaran gelap narkotika dimana seorang korban seharusnya tidak mendapatkan sanksi pidana yang menurut peneliti tidak lagi efektif dalam menaggulangi penyalahgunaan narkotika dewasa ini. Sebagai upaya lain dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika yang bersifat prevantif adalah dengan memberikan sanksi tindakan berupa rehabilitasi bagi pecandu narkotika dan menyediakan tempat atau sarana terapi pengobatan dan rehabilitasi medis dan sosial bagi para pecandu narkotika untuk bisa sembuh dari ketergantungan dan kembali menjalani kehidupan sehari-hari di masyarakat. Apabila kita melihat fakta dilapangan telah banyak kasus yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika dan telah memiliki kekuatan hukum tetap dalam putusannya, dimana banyak sekali penyalahguna narkotika yang diberikan sanksi pidana dengan pasal penggunaan dan pemilikan narkotika.
Berdasarkan fakta tersebut pasal tentang pengguna dan kepemilikan narkotika sangat berpotensi bahwa mayoritas pelaku penyalahguna narkotika adalah seorang pecandu yang sudah mengalami ketergantungan terhadap narkotika, akan tetapi jarang sekali terdapat pasal rehabilitasi yang digunakan jaksa dalam menuntut pelaku penyalahguna narkotika dan hakim dalam mejatuhkan putusan padahal dalam pasal 103 bahwa hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindakan pidana narkotika. Selain itu juga dapat menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika dengan masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa sekalipun substansi hukum kita baik belum tentu dapat berjalan dengan fungsinya karena dibutuhkan struktur penegak hukum yang handal dalam menjalankan substansi tersebut. Dari segi hukum, putusan pengadilan merupakan tempat terakhir bagi pencari kebenaran dan merupakan suatu landasan terakhir dalam suatu penegakan hukum materiil. Maka dari itulah hakim merupakan penegak hukum yang dapat mengadili suatu perkara sesuai dengan in book ataupun sesuai hati nurani diluar dari undang-undang yang mengaturnya hingga mencapai tahap akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Daftar Pustaka :
Hafied Ali Gani.2015. Rehabilitasi Sebagai Upaya Depenalisasi Bagi Pecandu Narkotika. Malang : Universitas Brawijaya.
O.C. Kaligis & Associates. 2002. Narkoba dan peradilannya di Indonesia, Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundang dan peradilan. Bandung Alumni, 2002.
Sholehuddin. 2004. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya. Jakarta : Raja Garafindo Persada.
Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062.
Yong Ohoitimur. 2009 Teori Etika Tentang Hukuman Legal, Gramedia Pustaka Utama :Jakarta.