
Peer Group dan Perilaku Berisiko Pada Remaja
Oleh : Ratih Frayunita Sari, S.I.Kom., M.A (Penyuluh Narkoba Ahli Pertama)
Fenomena penyalahgunaan narkoba dapat ditilik dari teori kontrol sosial dan perilaku berisiko. Teori kontrol sosial merupakan konsep yang menyatakan bahwa faktor sosial memiliki pengaruh dan sebagai kontrol munculnya perilaku menyimpang, termasuk perilaku penyalahgunaan narkotia. Menurut Hagan (dalam Paulus Hadisuprapto, 2004), teori ini berangkat dari asumsi bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama, kemungkinan menjadi ‘baik’ atau ‘buruk’. Baik atau buruknya seseorang sepenuhnya tergantung pada masyarakatnya. Ia menjadi baik jika masyarakatnya membuat demikian, sebaliknya menjadi jahat juga yang membuat masyarakatnya.
Hirschi (dalam Kusumatuti dan Hadjam 2004) juga mengemukakan hal yang sama bahwa penyalahgunaan narkoba yang dilakukan seseorang dapat dipengaruhi oleh kurang kuatnya kontrol sosial lingkungan orang itu. Kontrol sosial berpotensi mempengaruhi perilaku seseorang sesuai dengan norma sosial di lingkungan tersebut. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kontrol sosial yang kuat maka orang itu tidak akan melakukan penyimpangan yang menyalahi norma. Jika melihat dari perspektif teori ini, maka penyalahgunaan narkotika lebih merupakan perilaku menyimpang (deviant behavior) yang lebih ditujukan pada permasalahan ketaatan atau kepatuhan terhadap norma- norma kemasyarakatan. Individu yang memiliki kontrol diri rendah tidak distimulus oleh lingkungan dapat bertindak impulsive, senang mengambil risiko, dan mudah membentuk kepribadian seseorang. Sebagian lagi, kehilangan kendali emosi karena mudah frustasi. Seseorang yang terputus ikatan sosial dengan lingkungannya, maka tidak ada kendali sosial sehingga “bebas” melakukan penyimpangan.
Pemahaman perilaku penyalahgunaan narkotika dapat ditelusuri dari penjelasan mengapa seseorang itu tidak patuh atau taat pada norma-norma sosial-kemasyarakatan. Furhmann (1990) menyatakan proses keterlibatan individu menggunakan narkoba melalui beberapa tahap, yaitu: a) berkenalan dengan narkoba, b) mencobamenggunakan narkoba, c) menggunakan narkoba secara tetap karena berada dalam lingkungan pemakai, d) menggunakan narkoba untuk kesenangan, dan e) menggunakan narkoba secara tetap,karena adanya unsur ketergantungan, baik ketergantungan fisik maupun mental. Oleh sebab itu, penyalahgunaan narkoba merupakan salah satu tindakan perilaku berisiko tinggi. Perilaku berisiko tersebut sangat tergantung pada interaksi seseorang dengan lingkungan sosialnya.
Keluarga dan peer group atau teman sebaya merupakan faktor yang dapat menjelaskan mengapa terjadi penyalahgunaan narkotika (Espelage, D. et al.: 2003). Keluarga merupakan unit sosial terpenting dalam bangunan masyarakat. Keluarga sebagai unit terkecil dalam kehidupan sosial sangat besar perananya dalam membentuk pertahanan seseorang terhadap serangan penyakit sosial sejak dini. Orangtua yang sibuk dengan kegiatannya sendiri tanpa mempedulikan perkembangan anak-anaknya merupakan awal dari rapuhnya pertahanan anak terhadappenyakit sosial. Dengan demikian, fungsi sosialisasi keluarga sangat penting dalam mendidik anak, mulai dari awal sampai pertumbuhan anak sehingga terbentuk kepribadian. Anak- anak harus mendapat sosialisasi oleh orangtuanya tentang nilai-nilai apa yang diperbolehkan dan tidak boleh, apa yang baik dan tidak baik, apa yang pantas maupun tidak pantas, dan sebagainya.
Kelompok teman sebaya akan memungkinkan individu untuk saling berinteraksi, bergaul dan memberikan semangat serta motivasi terhadap teman sebaya yang lain secara emosional. Dengan demikian, kehadiran kelompok teman sebaya dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan remaja, antara lain. pertama, memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap perkembangan remaja., kedua, citra tubuh (tampilan diri), ketiga, perilaku konsumtif, keempat, perkembangan sosial (persahabatan dan relasi romantis).
Menurut Erikson (dalam Gunarsa 2004), masa remaja adalah masa pencarian identitas diri, dimana identitas diri ini dibentuk dari hubungan psikososial remaja dengan individu lain yaitu dengan teman dan sahabat. Hubungan psikososial sesama remaja dalam mengidentifikasikan diri dan merasa nyaman disebut dengan istilah kelompok teman sebaya (Larson & Richard dalam Papalia 2005). Ikatan secara emosional dalam kelompok teman sebayaakan mendatangkan berbagai pengaruh besar bagi individu dalam kelompok. Dibandingkan dengan remaja yang tidak memiliki hubungan kelompok teman sebaya atau hubungan kelompok teman sebaya yang negatif, remaja yang memiliki hubungan kelompok teman sebaya yang positif lebih dapat mengatasi stres karena dukungan dari teman-temannya. Karakter seseorang yang dijadikan teman pun akan sangat berpengaruh pada perkembangan remaja.
Hubungan kelompok teman sebaya yang positif akan memberi hasil pada prestasi akademik dan keterlibatan dalam kegiatan sekolah. Aspek perkembangan kognitif dilihat dari sudut pandang pendekatan konstrusi sosial. Vygotsky (dalam Santrock 2011) menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun secara bersama. Keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi remaja untuk memperoleh informasi, mengevaluasi, dan memperbaiki pemahaman mereka saat bertemu dengan pemikiran orang lain serta saat mereka berpartisipasi dalam kelompok.
Selain kontrol sosial, penyalahgunaan narkoba juga merupakan salah satu tindakan perilaku berisiko tinggi. Perilaku berisiko itu sangat tergantung pada interaksi seseorang dengan orang lain dan perilaku yang ditampilkan, termasuk motivasi untuk mengonsumsi narkoba. Motivasi individu atau anggota komunitas untuk mengonsumsi narkoba pun bermacam-macam. Kajian Cornwel dan Cornwel (1987) berdasarkan hasil survei yang dilakukan pada penduduk Amerika berusia 16-65 tahun menyebutkan bahwa motivasi orang untuk mengonsumsi narkoba: sekitar 55% responden yang mengonsumsi narkoba satu dan dua kali saja adalah mereka yang sekedar ingin tahu, sedangkan responden yang memakai narkoba dengan frekwensi satu kali dalam seminggu atau dalam sebulan dengan persentase sekitar 40% adalah mereka yang mengalami kebosanan, ataupun akibat tekanan, pencarian spiritual, pengaruh teman sebaya, dan keterkucilan secara sosial. Adapun motivasi responden sebanyak 5% lagi, yaitu mereka yang memakai narkoba setiap hari adalah akibat keterkucilan secara psikologis, kurangnya identitas diri, dan orang yang apatis.
Tim Rodes (1997) dalam berbagai bacaannya menyimpulkan bahwa di satu sisi perilaku berisiko dikonseptualkan sebagai produk dari kognisi individu, keputusan dan tindakan terkait. Sementara di sisi lain, perilaku berisiko dianggap sebagai produk dari saling mempengaruhi antara individu, tindakan individu lain, komunitas mereka, dan lingkungan sosial. Dengan kata lain, tindakan berisiko itu tidak muncul hanya berasal dari individu tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan yang membentuknya, termasuk berbagai komunitas yang diikutinya. Saling mempengaruhi antara individu dan sosial merupakan faktor yang dapat memproduksi perilaku berisiko. Apabila komunitas yang diikuti merupakan komunitas yang beranggotakan individu- indvidu yang baik, maka kecenderungan utamanya bahwa seseorang itu akan berperilaku baik. Sebaliknya, jika individu itu menjadi bagian dari komunitas dengan anggota-anggota yang berperilaku tidak baik, maka kecenderungan besar yang mungkin terjadi bahwa individu dimaksud akan berperilaku tidak baik juga.
Secara sosial, satu komunitas menginginkan status sosial dari komunitas yang diikutinya lebih tinggi daripada komunitas orang lain. Oleh sebab itu, solidaritas di antara anggota komunitas perlu dipelihara agar kohesi sosial atau keterikatan satu anggota dengan anggota lain semakin tinggi. Sebagai salah satu contoh adalah komunitas pengguna narkoba. Penggunaan alat suntik yang sama secara bergantian di antara pengguna narkoba merupakan perilaku yang menyimbolkan cara para pengguna untuk memelihara hubungan sosial di antara mereka (Tim Rodes 1997). Dengan kata lain, persaingan antar komunitas juga berpengaruh terkait pengonsumsian narkoba. Padahal, penggunaan alat suntik yang sama secara bergantian dapat menyebarkan virus HIV di antara mereka. Selain untuk menjaga solidaritas di antara anggota komunitas, ada kemungkinan juga perilaku berisiko itu ditujukan untuk menunjukkan identitas individu ataupun kelompok komunitas itu sendiri. Identitas seperti dikemukakan oleh Erikson (1968 dikutip oleh Verkooijen 2006) adalah “as ‘a sustained sense of self – a subjective perception of who we are in the eyes of other people’” (sebagai “perasaan diri yang berkelanjutan persepsi subjektif tentang siapa kita di mata orang lain”).
Identitas individu ataupun komunitas ditunjukkan lewat perilaku berisiko itu, disebabkan individu ataupun komunitasnya tidak yakin akan keberadaan dirinya di tengah-tengah masyarakat. Tingkat kepercayaan diri yang ada pada dirinya maupun komunitasnya rendah sehingga timbul keinginan untuk meningkatkan kepercayaan diri melalui perilaku berisiko, dengan mengonsumsi narkoba. Erikson menyebut perasaan yang dimiliki oleh individu ataupun komunitas seperti itu dengan krisis identitas (identity crisis).
Menurut Erikson, membangun identitas diri pada masa remaja (yaitu masa transisi dari anak-anak menuju dewasa) menjadi penting karena remaja menginginkan sebuah identitas yang mengurangi ketergantungannya pada orangtua dan lebih merefleksikan dirinya sebagai orang yang lebih kuat. Oleh Verkooijen (2006) identitas dilihat sebagai produk dari perilaku (behaviour) masa lalu daripada sebagai suatu kasus aktual (sedang berlangsung). Proses membangun identitas diri itu difasilitasi oleh anggota komunitas yang diikutinya, sehingga peran anggota komunitas (teman) yang mendorong (drive) terbangunnya identitas individu menjadi penting. Keputusan seorang remaja (individu) untuk mengambil perilaku berisiko bergantung pada pentingnya perilaku itu untuk membangun atau membentuk identitas suatu grup atau komunitas.
Jika perilaku itu relevan untuk individu atau komunitas dan identitas individu atau komunitas menjadi menonjol, seorang remaja diharapkan mengadopsi perilaku itu. Ketika remaja melakukan perilaku berisiko itu, remaja mengetahui konsekuensi dari risiko tersebut. Artinya, hendak dikatakan bahwa remaja sesungguhnya mengetahui konsekuensi negatif dari perilaku berisiko itu, tetapi mereka mengambil risiko itu sejak mereka menghendaki hasil positif yang lebih lagi (Romer 2003 dikutip oleh Savi-Çakar, Tagay, dan Ikiz 2015).
Remaja yang tergabung dalam satu komunitas dapat menjadi peer group yang menggantikan peran orangtua sebagai referensi sosial. Waktu yang diberikan untuk teman sebaya dan persahabatan yang terjalin di dalamnya, termasuk bentuk keterasingan mereka menjadi sangat kuat. Teman sebaya dan persahabatan dengan teman sebaya itu menjadi kunci yang berperan penting menjadikan seorang individu (remaja) berperilaku berisiko (Verkooijen (2006: 8). Sementara itu, Carson-DeWitt (2002) menyebutkan bahwa para ilmuwan sering mengidentifikasi penyebab cedera merupakan kombinasi dari perilaku berisiko dan lingkungan berbahaya. Perilaku berisiko dan cedera sering terjadi pada masa remaja dan dewasa muda. Penggunaan narkoba berkontribusi terhadap cedera, karena memiliki efek negatif pada persepsi, penilaian, dan waktu reaksi. Seorang anak muda di bawah pengaruh obat-obatan juga kurang menghargai kesejahteraan diri sendiri dan orang lain.
Terkait dengan konsep risiko, Trimpop (1994) mendefinisikan “Risk taking is any consciously, or non-consciously controlled behavior with a perceived uncertainty about its outcome, and/or about its possible benefit or costs for the physical, economic, or psycho- social well-being of oneself or others” (Pengambilan risiko adalah segala perilaku yang dikendalikan secara sadar, atau tidak disadari dengan ketidakpastian yang dirasakan tentang hasilnya, dan/atau tentang kemungkinan manfaat atau biaya untuk kesejahteraan fisik, ekonomi, atau psikososial dari diri sendiri atau orang lain).
Menurut Green dan Kreuter (2005 dikutip oleh Lestary dan Sugiharti 2011), ada tiga faktor yang menyebabkan atau mempengaruhi perilaku berisiko, dalam hal ini kalangan remaja. Pertama, faktor predisposing atau faktor yang melekat atau memotivasi, yang berasal dari dalam diri seorang remaja yang memotivasinya untuk melakukan suatu perilaku. Termasuk dalam faktor ini adalah pengetahuan, keyakinan, nilai, sikap, kepercayaan, kapasitas, umur, jenis kelamin, dan pendidikan. Kedua, faktor enabling atau faktor pemungkin yang memungkinkan suatu perilaku dapat terlaksana. Faktor ini meliputi ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya kesehatan, prioritas, dan komitmen masyarakat/pemerintah terhadap kesehatan, keterampilan terkait kesehatan, tempat tinggal, status ekonomi, dan akses terhadap media informasi. Ketiga, faktor reinforcing atau faktor penguat yaitu faktor yang dapat memperkuat perilaku, ditentukan oleh pihak ketiga atau orang lain yang meliputi keluarga, teman sebaya, guru, petugas kesehatan, tokoh masyarakat dan pengambil keputusan.
Subhandi (2015) menyebutkan tiga cara untuk pencegahan kejahatan, termasuk penyalahgunaan narkoba, yaitu: pre-emtif, preventif dan represif. Pencegahan kejahatan secara pre-emtif yaitu upaya-upaya awal yang dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana, dengan cara menanamkan nilai-nilai/norma-norma yang baik sehingga norma tersebut terinternalisai dalam diri seseorang. Dengan adanya upaya preventif, maka faktor niat menjadi hilang meskipun ada kesempatan. Pencegahan yang bersifat preventif dimaksudkan untuk menghilangkan kesempatan melakukan kejahatan, dengan cara meminimalisasi kesempatan. Adapun pencegahan secara represif dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana/kejahatan, yaitu berupa penegakan hukum (Ratih Frayunita Sari)
Sumber :
Carson-DeWitt, R (editor in chief). 2002. Drugs, Alcohol, and Tobacco Learning About Addictive Behavior, Volume 1. USA: The Gale Group, Inc.
Cornwell, A. dan V. Cornwell. 2010 (Transferred to digital printing). Drugs, Alcohol and Mental Health. Cambridge: Cambridge University Press.
Espelage, D. L.; Holt, M. K.; Henkel, R. R.; 2003. “Examination of peer-group contextual effects on aggression during early adolescence”. Child Development. 74: 205–220. doi:10.1111/1467-8624.00531.
Firdevs Savi-Çakar, F., Ö. Tagay, dan F. E. Ikiz. 2015. “Risky Behaviors of Adolescents:Definitions and Prevention”. Dalam A. M. Columbus (Editor) Advances in Psychology Research Volume 106.
Subhandi, Handar, 2015. Upaya Penanggulangan Kejahatan, dalam
https://handarsubhandi.blogspot.com/2015/08/upaya- penanggulangan-kejahatan.html